Jumat, 17 September 2010

Abstraksi " Mengelola Gelangang Olahraga Tri lomba Djuang Semarang sebagai Industri Olahraga melalui Pola Business Administration Thinking dan Marketing Strategy dalam Mewujudkan Kemandiraan Keolahragaan Kota Semarang "


Adanya isu mengenai alih fungsi lahan GOR Tri Lomba Djuang Semarang menjadi industri bisnis yang lebih menguntungkan membuat masyarakat olahraga dan lingkungan resah. Sebenarnya pengelolaan GOR Tri Lomba Djuang dapat menguntungkan semua pihak tanpa merubah fungsinya sebagai serana dan prasarana olahraga di kota Semarang, yaitu dengan menjadikannya sebagai industri olahraga. Pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah kota semarang harusnya mengarah kepada industri olahraga. Ketika sarana dan prasarana ini menjadi industri olahraga maka hendaknya pengelolaan dilakukan dengan kemitraan baik dengan pihak swasta maupun masyarakat. Oleh sebab itu penyusun memberikan gagasan konsep pola business administration thinking dan marketing strategy sebagai strategi dalam mengelola GOR Tri Lomba Djuang Semarang sebagai industri olahraga, sehingga tujuan dari industri olahraga yang tersirat dalam pasal 80 ayat 1 UU Republik Indonesia No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yaitu kemandirian dan profesionalitas keolahragaan terwujud. 

Melalui pola business administration thinking pengelola industri olahraga diwajibkan untuk selalu menguntungkan semua pihak termasuk masyarakat. Sehingga tidak hanya berpikir secara dagang dan komersil saja tetapi mampu berpikir secara sosial. Selain itu marketing strategy maka akan menambah value GOR Tri Lomba Djuang Semarang sehingga dengan strategi ini keolahragaan di Semarang akan mandiri dan professional dengan tetap memperhatikan tujuan keolahragaan nasional dan prinsip penyelenggaraan keolahragaan. Dengan penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan bahwa pemerintah kota semarang mampu mengoptimalkan GOR Tri Lomba Djuang sebagai industri olahraga yang dapat mewujudkan kemandirian dan profesionalitas keolahragaan di kota Semarang.

Karya tulis ini termasuk kedalam penelitian deskriptif dengan metode penelitian naturalistik atau penelitian kualitatif. Dimana jumlah populasi sebanyak enam, dan ke-enam populasi tersebut juga diambil sebagai sampel penelitian. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampel jenuh. Dalam penelitian ini data yang diperoleh melalui data primer dan sekunder, dimana instrumen penelitian yang digunakan adalah wawancara dan observasi  Dalam penganalisan data kami menggunakan analisis data kualitatif. Ruang lingkup substansi meliputi industri olahraga, pola business administration thinking, marketing strategy dan kemandirian keolahragaan.

Pengelolaan GOR Tri Lomba Djuang dikelola oleh Dinas Pertamanan Kota Semarang, menurut A Yudi Mardiana, SH, MM selaku kepala dinas Pertamanan Kota Semarang, kemitraan yang dilakukan oleh KONI Kota Semarang selsma ini cukup berjalan baik. Pendapatan sebesar 40 % dialokasikan sebagai pemasukan KONI Kota Semarang. Untuk mewujudkan kemandirian maka GOR Tri Lomba Djuang dikembangkan menjadi industri olahraga dengan menggunakan pola business administration thinking, yang meliputi berpikir secara administratif, dagang, komersil, teknologi, ekonomis, dan sosial dengan tetap memeperhatikan tujuan dan prinsip penyelenggaraan keolahragaan nasional. Strtegi pemasaran pun disusun, GOR Tri Lomba Djuang disegmentasikan untuk mereka yang menjadikan olahraga sebagai lifestyle, dengan positioning “pusat olahraga dan kumpulnya wong semarang”. Diferensiasi pun disusun dengan membuat komunitas pecinta GOR Tri Lomba Djuang, yang akan dijadikan sebagai sarana promosi secara personal communication. Selain itu kelebihan GOR yang msh rimbun dengan pepohonan pun tetap dipertahankan sebagai diferensiasi produk.

Selling dirancang dengan tak tik menjual feature, benefit dan solution yang dimiliki GOR Tri Lomba Djuang. Brand pun disusun sehingga akan terbentuk brand image yang kuat. Service pun di rancang bukan hanya sekedar melayani konsumen saja, tapi dirancang untuk menjadi service business.Dan yang terakhir adalah process, dimana GOR Tri Lomba Djuang selalu berusaha membuat suatu sistem yang mampu memberikan nilai tambah kepada para pelanggan. Dengan Pola business administration thinking dan strategy marketing maka GOR Tri Lomba Djuang akan menjadi industri olahraga yang mampu mewujudkan kemandirian olahraga di kota Semarang.

Membangun Olahraga Indonesia Melalui Corporate Social Responsibility


Tidak dipungkuri lagi dalam membangun olahraga Indonesia diperlukan kerjasama dari semua pihak baik pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Perkembangan olahraga Indonesia semakin tahun menunjukan penurunan setelah krisis multidimensional melanda Indonesia pada tahun 1998, apalagi setelah pada tahun 2008 terjadi krisis financial global yang menimbulkan dampak bagi perekonomian Indonesia. Di tengah krisis yang melanda Indonesia ini, bidang olahraga haruslah terus berprestasi demi mengharumkan nama bangsa. Kemandirian suatu olahraga merupakan keharusan yang harus banar – benar diwujudkan dalam sistem keolahragaan Indonesia. Dan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kemandirian olahraga adalah dengan membangun industri olahraga di Indonesia.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Presiden Soekarno dalam amanatnya yang disampaikan dalam Revolusi keolahragaan pada tanggal 9 April 1961 di Sasana Gembira, Bandung, menegaskan bahwa persoalan olahraga sangat sederhana karena berpusat pada manusia. Jika kita dapat memberikan kelengkapan yang diperlukan manusia olahragawan untuk mencapai prestasi tinggi, maka terjawablah semua problematika keolahragaan dan persoalan prestasi (Isworo Laksmi dan Handayani ; 88 ; 2008). Kelengkapan yang dibutuhkan adalah pembangunan fisik, pembinaan tehnik yang tepat, pembinaan mental yang kuat dan kematangan juara. Selain itu untuk menciptakan prestasi diperlukan l;atihan dan perlombaan yang diikuti sebanyak mungkin peserta yang dilakukan secara kontinyu dan diperlukan penelusuran bakat yang membutuhkan ahli yang benar – benar mengetahui siapa peserta yang dapat menjadi manusia olahragawan.

Dalam menyediakan semua kelengkapan yang dibutuhkan serta pelatihan dan pertandingan yang kontinyu yang dilakukan pata atlet serta pencarian bibit diperlukan dana yang cukup besar. Permasalahan dana ini merupakan permasalahan klasik yang sering terjadi pada dunia olahraga Indonesia. Dengan permasalahan ini semua insan olahraga mencari jalan keluarnya untuk menyelesaikan permasalahan dana, salah satu caranya adalah dengan membangun konsep industri olahraga, Dengan adanya industri olahraga diharapkan olahraga Indonesia tidak tergantung dengan pemerintah mengenai permasalahan dana. Ketika olahraga dijadikan sebuah industri, maka semua eleman masyarakat memilki peran yang sangat penting. Industri olahraga di Indonesia memang masih jauh dari harapan, namun tidak salahnya bila sekarang kita tata industri olahraga Indonesia untuk mewujudkan kemandirian olahraga di Indonesia.

Salah satu yang berperan dalam industri olahraga adalah perusahaan yang ada di Indonesia. Kita dapat lihat bagaimana perusahaan menggunakan uangnya untuk melakukan pembinaan olahraga seperti PT Djarum yang membina olahraga bulutangkis, atau bagaimana PT Sampoerna dengan Sampoerna hijaunya mengadakan Athlete Camp bagi para atlet bola voli Indonesia yang tujuannya adalah untuk memberikan pembekalan atlit kepada media dan masih banyak lagi perusahaan – perusahaan besar yang mulai peduli dengan olahraga Indonesia dengan menjadikannya sebagai Industri Olahraga.

Tidak dapat dipungkuri bahwa peran perusahaan swasta semakin besar di era globalisasi, sehingga dalam kehidupan demokrasi modern dimana pemerintah bukan lagi aktor tunggal sebagai agen pembaharuan peran perusahaan tidak lagi dipungkuri, kemajuan olahraga pada saat ini merupakan salah satu tolok ukur dalam kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab itu, peran perusahaan dalam membangun industri olahraga sangat penting kedudukannya. Salah satu penggerak perusahaan untuk menciptakan industri olahraga selain menjadi sponsor kegiatan olahraga adalah dengan mengalokasikan dana perusahaan untuk pembinaan cabang olahraga dan pembangunan sarana dan prasarana olahraga serta kelengkapan – kelengkapan yang dibutuhkan seperti yang diamanatkan oleh Presiden Soekarno yang kemudiuan merupakan cikal bakal dari kegiatan industri olahraga.

Salah satu program perusahaan yang menjadi cikal bakal dari industri olahraga adalah program Corporate Social Responsibility (CSR), walaupun tidak sebesar pendidikan, lingkungan, dan kesehatan namun program CSR ini sudah mulai menyentuh bidang olahraga yang nantinya akan berperan dalam industri olahraga yang akhirnya akan mewujudkan kemandirian olahraga di Indonesia. Kita dapat melihat di layar televisi bagaimana iklan PT Djarum dengan Djarum Bakti Olahraga untuk Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang mempunyai program CSR. Oleh karena itu dalam manajeman bisnis yang mengembangkan CSR, entitas bisnis dituntut secara sukarela untuk selalu mengitegrasikan kepeduliannya terhadap masalah sosial yang di dalamnya terdapat bidang olahraga ke dalam kegiatan usaha mereka dan juga ke dalam cara – cara perusahaan berinteraksi dengan stakeholder perusahaan.

PT Djarum Kudus dengan program Djarum Bakti Olahraga telah melakukan banyak hal dalam memajukan olahraga Indonesia. PT Djarum memiliki andil yang besar dalam pembangunan industri olahraga di Indonesia. Dengan program CSR-nya PT Djarum menjadi sponsor dari liga Djarum Indonesia dengan mengeluarakan dana sebesar 35 Miliar pada tahun 2008. Selain di sepakbola PT Djarum dengan PB Djarumnya telah berhasil mengirim atlitnya ke ajang internasional serta pembangunan Gelanggang Olahraga Bhakti Djarum yang menghabiskan dana sebesar Rp 30 Miliar merupakan salah satu wujud peran CSR dalam membangun industri olahraga untuk mewujudkan kemandirian di Indonesia.

Sangat terlihat jelas bahwa industri olahraga pada era seperti ini harus terus dikembangkan dengan pola kemitraan perusahaan melalui program CSR yang pada tahun 2004 telah dikeluarkan Undang – undangnya. Dengan CSR yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan di Indonesias di bidang olahraga, maka di masa yang akan datang akan tumbuh industri – industri olahraga lainnya yang dapat mewujudkan kemandirian olahraga di Indonesia.

by : Joko Purnomo

Sports Management with Better Education in collaborates to the Indonesia Sport Industry Penetrated the World Market


Masalah dan berita mengenai olahraga telah menjadi pembicaraan umum di sekitar kita. Dari kondisi global, dimana mungkin ada dampak tertentu kepada industri olahraga berhubungan dengan krisis ekonomi global. Banyak industri normalnya memiliki hubungan pemasaran yang kuat dengan berbagai merek olahraga, produk dan industri seperti club sepakbola, Wimbledon atau Olimpiade bisa mengurangi anggaran mereka pada masa resesi ini. Di sisi lain Indonesia sebagai negara yang memiliki masyarakat berpendidikan rendah namun memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap prestasi olahraga nasional kita. Dari sekian jumlah populasi di Indonesia mungkin hanya ada sedikit yang benar – benar peduli mengenai perkembangan industri olahraga dari pada hanya mempertimbangkan keuntungan jangaka pendek. Bagaimanapun, mendekati 230 juta dari populasi Indonesia selalu meyaksikan atau ingin menjadi bagian dari acara besar olahraga yang menggambarkan kebanggaan, identitas dan fanatik bangsa kita.

Banyak perusahaan menggunakan ini, untuk menjadi sebuah industri dan mungkin latar belakang pemasarannya. Sayangnya, kondisi yang menguntungkan ini tidak bertahan lama. Banyak tekanan jangka pendek dari kontrak yang dibuat memperlambat kesinambungan industri olahraga itu sendiri. Paradigma ini akan merubah cara penganggaran untuk pemasaran sebelumnya yang mungkin membunuh atau hanya merusak dengan komersialisasi daripada pengembangan prestasi olahraga nasional kita sebagai tujuannya.

Mungkin MAsih ada beberapa pemikiran apabila kita melihat industri olahraga kita sendiri, beberapa perusahaan rokok memiliki pendekatan irasional dengan berinvestasi pada industri olahraga. Kabar mengatakan bahwa 80% dari anggaran untuk pemasaran digunakan untuk mendukung industri olahraga karena pemilik perusahaan mencintai olahraga tertentu sebagai sesuatu yang penting. Akan tetapi dari aspek gambaran bisnis, ini bisa mengacu kepada pendekatan rasional dimana investasi yang memungkinkan sangat menentukan merek produk yang bersejarah atau mereposisi tanggung jawab sosial perusahaan dimana itu lebih berguna bagi masyarakat secara luas. Bagaimanapun, melalui Kebijakan Menteri Keungan pada tahun 2008 yang memperketat perpajakan bagi industri rokok dapat mempengaruhi anggaran perusahaan yang mampu menyebabkan turunya pontensial ventira yang mengacu pada industri olahraga sebagai sesuatu yang penting. Terlebih lagi berdasarkan kasus “ A – Mild “ milik Sampoerna yang menarik kontrak mereka dengan IBL berdasarkan kebijakan sang pemilik mereka ( Phillip Morris) untuk mereposisi bisnis inti mereka dengan rencana bisnis (kebanyakan, seperti petualangan olahraga dan olahraga ekstrim). Sebagai contoh lain. Seperti Bentoel Rajawali yang di akusisi oleh British Americcan Tobacco bisa memungkinkan mengacu kepada strategi mereka untuk mengubah startegi pemasaran mereka, yang awalnya melalui lub sepak bola “ Arema Malang kea kun lain.

Dikarenakan serangan teroris pada J.W Marriot dan Ritz Carlton tahun lalu, mungkin mengacu kepada penggagalan kedatangan Manchester United di Indonesia. Dengan pengalaman tersebut menempatkan kita kepada masalah serius untuk mengatur industri olaharag nasional kita dan acara olahraga internasionaluntuk menjadi lebih baik terutama kepercayaan kepada pihak sponsor.
Banyak masalah kritis yang telah diliterasi oleh pendapat – pendapat melalui media massa seperti Koran olahraga, blog, jejaring sosial yang kebanyakan mendiskusikan potensi olahraga nasional kita. Sayangnya, hanya ada beberapa yang benar – benar peduli atau empati bagaimana kita membuat perubahan , perencanaan, dan pengelolaan olahraga kita berdasarkan prestasi olahraga nasional. Kecenderungan orang – orang untuk melihat atau mengetahui olahraga sebagai industri yang tidak pasti bisa memberikan dampak kepada pendapatan per kapita nasional dan efek pengganda kepada produk domestic bruto melalui produk olahraga nasional dan produk yang mungkin gagal untuk dilaksanakan atau kemampuan pengelolaan yang buruk dari praktisi, terutama untuk mengembangkan olahraga secara keseluruhan. Selanjunya masyarakat kita seharusnya mengerti bagaimana ini bisa menjadi prospek yang mungkin memberikan solusi untuk menjawab masalah pengangguran. Masyarakat perlu di didik agar mengerti potensial dari olahraga sebagai lapangan pekerjaan baru yang mungkin mengacu kepada perkembangan dari prestasi olahraga nasional iyi sendiri.

Sekarang ini, dengan kesadaran dari pemerintah dan substansi sosial dari pendidikan akan terus berkembang. Melalui program pendidikan yang inovatif kita mampu membidik masyarakat kita dengan pengetahuan, pemikiran dan norma yang lebih baik. Dlam hubungan antara latara belakang akademis, semangat olahraga dan kebanggaan nasional seharusnya mampu bertidak melalui tindakan kongkrit untuk mengembangkan pendidikan formal yang berfokus kepada manajemen olahraga.

BY : Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 

Selasa, 14 September 2010

Green Marketing


Ketika sedang melewati kampung penduduk di daerah sentul, Jawa barat. Saya melihat segrombolan ibu – ibu tampak berkreasi membuat berbagai barang seperti payung dan tas. Uniknya mereka membuatnya tidak dari bahan kain atau kulit, tetapi dari bekas kemasan sunlight (sabun cuci piring). Ternyata mereka adalah ibu binaan dari Unilever yang tergabung dalam komunitas Trashion, yang mengumpulkan barang – barang bekas dari pemulung untuk disulap menjadi berbagai produk seperti tas gendong, tas laptop, vas bunga, dompet, dan lain – lain. Mendorong ibu – ibu untuk mulai ramah lingkungan dengan menghindari membuang sampah kemasan adalah salah satu bentuk kepedulian perusahaan asal Belanda ini. Maklum arahan dari kantor global perusahaan ini pun sudah member sinyal lebih menyorot pada masalah lingkungan.

Sama seperti unilever, perusahaan seperti phillip pun tak mau kalah melakukan aktivitas marketing yang berbau “ hijau “. Dalam situs perusahaannya dikatakan bahwa mereka membagi – bagikan lampu hemat energy ke kampung – kampung. Hasilnya pun luar biasa. Selain mengedukasi pasar untuk selalu hemat energy, Phillip juga bisa melakukan penetrasi pasar secara cepat. Sekaligus hal ini semakin memperkuat awareness masyarakat terhadap positioning Phillip sebagai lampu hemat energy.

Kesadaran lingkungan kini mulai bertumbuh di kalangan marketer. Kebetulan marketer adalah salah satu kelompok yang lebih cepat dan mudah memperoleh informasi soal masalah lingkungan. Dengan demikian, marketer pun semakin sadar bahwa kerusakan lingkungan hidup semakin krusial bagi mereka. Green Marketing kemudian mejadi alternatif strategi yang tidak hanya membantu image perusahaan tetapi juga member value terhadap bisnis perusahaan. Kesadaran dunia terhadap lingkungan mulai mulai bergema kencang pada saat pertemuan dunia soal perubahan iklim. Perubahan iklim dunia membuat cuaca tidak menentu dan banyaknya bencana alam. Global warming juga menjadi salah satu fenomena yang menakutkan dunia dewasa ini. Oleh karena itu, bangsa – bangsa di dunia kini mulai mencoba bersama – sama memecahkan masalah lingkungan ini.

Dalam Majalah marketing edisi September 2009 (2009 ; 42) dengan artikel yang berjudul “ Grenn Marketing Mahal “, dijelaskan bahwa kesadaran dunia usaha terhadap lingkungan sudah mengemuka sejak tahun 70-an. Namun demikian bentuknya lebih kepada kegiatan CSR. Aktivitas green marketing baru muncul pada tahun 80-an akhir sampai 90-an. Berdasarkan hasil penelitian dari John Grant dalam bukunya The Green Marketing Manifesto, pada tahun – tahun tersebut beberapa peristiwa di dunia seperti kejatuhan tembok Berlin sampai pada partai Hijau yang menguat di Inggris semakin membuat kepekaan dunia usaha terhadap isu lingkungan semakin tinggi. Pada dekade itu-lah merek – merek seperti The Body Shop mendapatkan milestone-nya, demikian pula dengan Ecover, Naturals Range dan Down to Earth. Yang juga meledak adalah buku The Green Consumer, dari Joel Makower yang kemudian menjadi fenomena. Hanya sayangnya dlam buku tersebut Joel justru menunjukan kegagalan produk – produk yang ramah lingkungan. Kenyataannya, produk – produk ramah lingkungan hanya menjadi idealisme semata, sedangkan di pasaran penjualaannya jeblok.

Sementara itu Rhenald Kasali (2009 ; 54), saat ini pengembangan produk yang ramah lingkungan seolah menjadi tren yang menyebar hampir keseantero dunia, banyak pelaku dari berbagai industri berlomba – lomba menciptakan produk yang ramah lingkungan guna menjaring minat konsumen. Namun sayang, meski animo masyarakat cukup tinggi terhapad produk ini, perkembangan pada pasar produk tersebut nampaknya tidak akan bisa melebar sesuai harapan. Penyebabnya bermacam – macam mulai dari kurang stimulus, minimnya dukungan pemerintah, serta mahalnya harga produk. Rhenald mencotohkan seperti yang terjadi pada mobil hydrid di Amerika Serikat, pelan tapi pasti kehadiran mobil ramah lingkungan tersebut di negeri Paman Sam telah hilang dari peredaran sekarang. Salah satu penyebabnya adalah karena kehadiran mobil tersebut dianggap menggangu bisnis minyak bagi pengusaha di negara bagian Texas. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, itu bisa terlihat dari penetapan pajak mobil hybrid yang lebih mahal, ketimbang mobil biasa. Dari dua contoh yang diuraikan Rhenald Kasali kita dapat lihat bahwa potensi pasar produk ramah lingkungan itu sebenarnya tergantung bagaimana pemerintah dan lingkungan sekitar di dalam mestimulasinya. Padahal, manfaat produk ramah lingkungan sangat luar biasa bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Masalahnya yang muncul sekarang adalah apakah konsumen Indonesia sudah sadar lingkungan ? Itu yang menjadi pertanyaan bagi para marketer. Ketakutan dari para merek untuk terjun ke dunia green marketing ini tidak lain karena para marketer merasakan bahwa target pasar mereka belum berorientasi kepada lingkungan hidup. Itulah sebabnya pertumbuhan produk – produk yang ramah lingkungan terkesan juga lambat di Indonesia. Apa benar masyarakat Indonesia belum sadar lingkungan ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita dapat melihat data dari AC Nilsen berikut ini :
Tabel 1
Survey Kepedulian Masyarakat tarhadap Lingkungan (dalam %)

Pertanyaan / Keterangan
Bagaiman tingkat kepedulian Anda soal lingkungan hidup ?
Bagaimana tingkat kepedulian Anda terhadap tingkap kepedulia Air ?
Bagaiman tingkat kepeudlian Anda terhadap polusi Air ?
Bagaiman tingkat kepedulian Anda terhadap pemanasan global ?
Sangat Peduli
66
72
80
69
Peduli
27
20
16
24
Biasa Saja
6
7
3
6
Tidak Peduli
1
1
-
1
Sangat Tidak Peduli
-
1
1
-
JUMLAH
100
100
100
100
Sumber : AC Nilsen ; 2009
Dilihat dari dat diatas, sebenarnya konsumen Indonesia memiliki perhatian yang cuku besar terhadap beberapa isu lingkungan hidup. Rata – rata presentase konsumen Indonesia yang memiliki perhatian terhadap isu lingkungan hidup sudah berada diatas 90%. Sekalipun survey yang dilakukan oleh AC Nielsan merupakan para pengguna internet yang mayoritas sudaj teredukasi, namun hal ini merupakan titik awal bagaimana konsumen Indonesia akan mulai berpikir soal lingkungan hidup.

Istilah green marketing sendiri muncul ke permukaan sebagai reaksi dari marketer untuk peduli terhadap lingkungan. Apalagi marketing menjadi alat yang efektif untuk mengubah perilaku dan gaya hidup konsumen. Upaya green marketing bisa diterapkan pada berbagai unsure marketing mix, mulai dari produk, promosi, distribusi dan bahkan harga. Upaya memberikan insentif suku bunga yang dilakukan oleh BNI kepada pengembang ramah lingkungan adalah salah satu unsure kepedulian lingkungan. Sedangkan dari sisi distribusi, perhatian lingkungan bisa dilakukan lewat pemilihan outlet – outlet yang dekat dengan lingkungan hidup. Di Indonesia kita sebenarnya bisa melihat mulai maraknya kepedulian marketer kepada lingkungan. Sekalipun masih banyak yang belum menjadikan standar baku dalam memasarkan produk, namun gejala untuk memperhatikan lingkungan hidup sudah terlihat. Misalnya terlihat dengan penggunaan tas belanja pengganti tas plastik di supermarket, kemasan dan produk yang dapat di daur ulang sampai kampanye penyelamatan lingkungan hidup.

Dari ulasan diatas green marketing dapat definisikan sebagai proses penjualan produk dan / atau jasa berdasarkan manfaat lingkungan mereka. Such a product or service may be environmentally friendly in itself or produced and/or packaged in an environmentally friendly way. Seperti sebuah produk atau jasa mungkin ramah lingkungan itu sendiri atau diproduksi dan / atau dikemas dengan cara yang ramah lingkungan. Asumsinya jelas bahwa calon konsumen akan melihat produk atau layanannya yang “ kehijauan “ sebagai dasar manfaat dan membeli sesuai keputusan mereka.

Menurut DR. Sonny Keraf (Mantan Menteri Lingkungan Hidup) (2009 ; 46), mengatakan bahwa tidak semua perusahaan di Indonesia siap melakukan konsep grenn marketing. Sekalipun begitu, beliau optimis bahwa penerapan green marketing akan semakin mengemukan di masa yang akan datang, ini dikarenakan konsumen dari berbagai produk dan jasa sudah mulai peduli dengan apa yang dikonsumsinya. Walaupun produk – produk yang ramah lingkungan cenderung mahal, tapi konsumen yang peduli rela membayarnya, asalkan produk itu memang diproduksi dengan aspek ramah lingkungan. Beliau mencotohkan, konsumen yang peduli akan membeli ikan yang hidup bukan yang mati, karena takut yang ikan yang mati ditangkap dengan tidak ramah lingkungan. Contoh lain adalah beras organic, sayur organik, produk kosmetik hingga pakaian. Beliau juga menambahkan, bahwa di masa depan akan semakin tercipta kelompok konsumen yang peduli terhadap lingkungan, contohnya komunitas konsumen dari produk organik. Lama kelamaan komunitas ini akan semakin besar dan akan membentuk kelompok yang dominan dan berpengaruh. Mereka bisa menjadi kelompok penekan dan memboikot perusahaan yang memasarkan produk tidak ramah lingkungan.

Harus diakui, menjalankan grenn marketing saat ini memang mahal. Padahal banyak keuntungan yang bisa didapat dari merek ketika menjalankan green marketing. Hal senada diungkapkan oleh Kasali (2009 ; 55), untuk melakukan green marketing dibutuhkan harga yang mahal, namun hal itu bisa diakali dengan stimulus dari pemerintah. Misalnya, subsidi terhadap harga pupuk organik atau mobil hybrid.  Berikut ini adalah keuntungan perusahaan apabila menjalankan green marketing :
1.      Pertama tentunya dari sisi image. Dimana citra positif akan terbentuk ketika sebuah merek menjalankan aktivitas green marketing. Sebgai contoh kita dapat melihat bagaimana Toyota dengan program Toyota Eco Youth, dimana didalam program tersebut setiap siswa disadarkan untuk sadar terhadap isu lingkungan. Selain memberikan edukasi terhadap pengolahan lingkungan, program ini juga memberikan edukasi tentang safety driving. Di sinilah pembentukan citra Toyota di benak siswa dibentuk. Apalagi di tahun – tahun mendatang Toyota akan meluncurkan mobil hybrid yang ramah lingkungan.
2.      Isu Lingkungan bahkan bisa dijadikan basis positioning yang kuat. Hal ini bisa dilakukan jika isu lingkungan benar – benar menjadi kebutuhan bagi konsumen. Merek yang paling banyak mempergunakannya adalah sektor perumahan. Contohnya adalah Sentul City, salah satu unique selling point yang ditawarkan oleh Sentul City adalah Eco City, dimana Sentul menawarkan sentuhan alam didalamnya dan bangunan yang mampu mereduksi efek – efek yang dapat merusak lingkungan.
3.      Manfaat lain yang dapat dirasakan oleh merek adalah inovasi. Kecintaan kepada lingkungan membuat merek menjadi lebih inovatif. Marketer yang mulai berfokus pada green marketing akan berusaha membuat produk yang ramah lingkungan atu kampanye kepedulian terhadap lingkungan serta berbagai aktivitas lainnya.

Menurut John Grant (2009; 43) tiga sasaran green marketing antara lain :
1.      Green
Pada tahap ini tujuan dari green marketing adalah lebih kea rah berkomunikasi bahwa merek atau perusahaan adalah merek yang peduli lingkungan.
2.      Greener
Pada tahap greener tujuan dari marketing adalah selain pada komersialisasi merek juga bertujuan mencapai sasaran yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup. Pada tahap ini mencoba untuk merubah cara konsumen mengonsumsi produk.
3.      Greenest
Pada tahap greenest tujuan dari marketing adalah sudah merubah budaya konsumen. Pada tahap ini konsumen sudah memiliki budaya atau kebiasaan yang lebih peduli terhadap lingkungan.

Menurut Rhenald Kasali green (2009; 56)  marketing harus dimulai dari internal practices dulu. Misalnya, jika memang subuah perusahaan ingin mengusung konsep green, maka pertama – tama budaya kerja hingga tempatnya harus berunsur green, dari sana biasanya ide atau inovasi produk bahkan strategi green marketing akan muncul. Produsen dan konsumen harus menciptakan simbiosis mutualisme. Produsen ingin mendapatkan pasar dan konsumen berharap mendapatkan produk yang ramah lingkungan. Dua – duanya harus saling mengedukasi dan mendukung. Tidak hanya dari satu pihak saja, karena tidak mungkin produsen bisa melakukan kegiatan ramah lingkungan apabila konsumen sendiri tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Konsumen juga tidak bisa mendapatkan green products apabila tidak tersedia di pasar.

Banyak masyarakat awam yang mengatakan bahwa green marketing merupakan program CSR, sehingga yang muncul kepermukaan adalah programnya semata – mata hanya karena CSR, namun sebenarnya tidak demikian. Seperti pada program go green Unilever yang fokus kepada ketersedian air bersih. Pasalnya hampir semua produk Unilever adalah produk yang berhubungan dengan air. Maka, jika ketersedian air berkurang akan mengancam keberlangsungan penjualan produk Unilever. Menurut pandangan Kasali (2009; 56) Selama ini masih banyak orang yang menganggap green marketing merupakan bagian dari program CSR, bahkan hal demikian terjadi dikalangan bisnis. Perbedaan yang mencolok dari green marketing dan program CSR terletak pada tujuannya. Kalau green marketing untuk menaikkan penjualan, semntara CSR hanya semata – mata bentuk partisipasi perusahan kepada lingkungan sosial. Namun yang perlu kita wanti – wanti adalah faktor ekonomi, karena faktor ekonomi selalu menjadi hambatan. Produk yang ramah lingkungan biasanya mahal. Dilihat dari situasi ini memang perubahan menuju masyarakat yang peduli lingkungan tidak bisa instan dan harus ada dukungan dari pemerintah, media masa, perusahaan dan pendidikan. Setelah itu bisa menjadi lebih efektif dengan terbentuknya komunitas pecinta lingkungan yang semakin lama menjadi lifestyle.

Sumber Tulisan :
AC. Nilsen; 2009; Survey Kepedulian Masyarakat terhadap Lingkungan

Grant John. 2009. Tiga Sasaran Green Marketing. Majalah Marketing. Edisi September 2009. Hal. 43

Kasali Rhenald; 2009; Potensi Green Product Bergantung Stimulus; Majalah Swa Sembada; Edisi No.10/XXV/14-27 Mei 2009. hal.56.

Keraf Sonny. 2009. Peduli Lingkungan Harus Menjadi Lifestyle. Majalah Mix Marketing Xtra. Edisi April 2009. hal. 46.

Majalah Marketing. 2009. Green Marketing. Edisi September 2009. hal. 42