Ketika sedang melewati kampung penduduk di daerah sentul, Jawa barat. Saya melihat segrombolan ibu – ibu tampak berkreasi membuat berbagai barang seperti payung dan tas. Uniknya mereka membuatnya tidak dari bahan kain atau kulit, tetapi dari bekas kemasan sunlight (sabun cuci piring). Ternyata mereka adalah ibu binaan dari Unilever yang tergabung dalam komunitas Trashion, yang mengumpulkan barang – barang bekas dari pemulung untuk disulap menjadi berbagai produk seperti tas gendong, tas laptop, vas bunga, dompet, dan lain – lain. Mendorong ibu – ibu untuk mulai ramah lingkungan dengan menghindari membuang sampah kemasan adalah salah satu bentuk kepedulian perusahaan asal Belanda ini. Maklum arahan dari kantor global perusahaan ini pun sudah member sinyal lebih menyorot pada masalah lingkungan.
Sama seperti unilever, perusahaan seperti phillip pun tak mau kalah melakukan aktivitas marketing yang berbau “ hijau “. Dalam situs perusahaannya dikatakan bahwa mereka membagi – bagikan lampu hemat energy ke kampung – kampung. Hasilnya pun luar biasa. Selain mengedukasi pasar untuk selalu hemat energy, Phillip juga bisa melakukan penetrasi pasar secara cepat. Sekaligus hal ini semakin memperkuat awareness masyarakat terhadap positioning Phillip sebagai lampu hemat energy.
Kesadaran lingkungan kini mulai bertumbuh di kalangan marketer. Kebetulan marketer adalah salah satu kelompok yang lebih cepat dan mudah memperoleh informasi soal masalah lingkungan. Dengan demikian, marketer pun semakin sadar bahwa kerusakan lingkungan hidup semakin krusial bagi mereka. Green Marketing kemudian mejadi alternatif strategi yang tidak hanya membantu image perusahaan tetapi juga member value terhadap bisnis perusahaan. Kesadaran dunia terhadap lingkungan mulai mulai bergema kencang pada saat pertemuan dunia soal perubahan iklim. Perubahan iklim dunia membuat cuaca tidak menentu dan banyaknya bencana alam. Global warming juga menjadi salah satu fenomena yang menakutkan dunia dewasa ini. Oleh karena itu, bangsa – bangsa di dunia kini mulai mencoba bersama – sama memecahkan masalah lingkungan ini.
Dalam Majalah marketing edisi September 2009 (2009 ; 42) dengan artikel yang berjudul “ Grenn Marketing Mahal “, dijelaskan bahwa kesadaran dunia usaha terhadap lingkungan sudah mengemuka sejak tahun 70-an. Namun demikian bentuknya lebih kepada kegiatan CSR. Aktivitas green marketing baru muncul pada tahun 80-an akhir sampai 90-an. Berdasarkan hasil penelitian dari John Grant dalam bukunya The Green Marketing Manifesto, pada tahun – tahun tersebut beberapa peristiwa di dunia seperti kejatuhan tembok Berlin sampai pada partai Hijau yang menguat di Inggris semakin membuat kepekaan dunia usaha terhadap isu lingkungan semakin tinggi. Pada dekade itu-lah merek – merek seperti The Body Shop mendapatkan milestone-nya, demikian pula dengan Ecover, Naturals Range dan Down to Earth. Yang juga meledak adalah buku The Green Consumer, dari Joel Makower yang kemudian menjadi fenomena. Hanya sayangnya dlam buku tersebut Joel justru menunjukan kegagalan produk – produk yang ramah lingkungan. Kenyataannya, produk – produk ramah lingkungan hanya menjadi idealisme semata, sedangkan di pasaran penjualaannya jeblok.
Sementara itu Rhenald Kasali (2009 ; 54), saat ini pengembangan produk yang ramah lingkungan seolah menjadi tren yang menyebar hampir keseantero dunia, banyak pelaku dari berbagai industri berlomba – lomba menciptakan produk yang ramah lingkungan guna menjaring minat konsumen. Namun sayang, meski animo masyarakat cukup tinggi terhapad produk ini, perkembangan pada pasar produk tersebut nampaknya tidak akan bisa melebar sesuai harapan. Penyebabnya bermacam – macam mulai dari kurang stimulus, minimnya dukungan pemerintah, serta mahalnya harga produk. Rhenald mencotohkan seperti yang terjadi pada mobil hydrid di Amerika Serikat, pelan tapi pasti kehadiran mobil ramah lingkungan tersebut di negeri Paman Sam telah hilang dari peredaran sekarang. Salah satu penyebabnya adalah karena kehadiran mobil tersebut dianggap menggangu bisnis minyak bagi pengusaha di negara bagian Texas. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, itu bisa terlihat dari penetapan pajak mobil hybrid yang lebih mahal, ketimbang mobil biasa. Dari dua contoh yang diuraikan Rhenald Kasali kita dapat lihat bahwa potensi pasar produk ramah lingkungan itu sebenarnya tergantung bagaimana pemerintah dan lingkungan sekitar di dalam mestimulasinya. Padahal, manfaat produk ramah lingkungan sangat luar biasa bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Masalahnya yang muncul sekarang adalah apakah konsumen Indonesia sudah sadar lingkungan ? Itu yang menjadi pertanyaan bagi para marketer. Ketakutan dari para merek untuk terjun ke dunia green marketing ini tidak lain karena para marketer merasakan bahwa target pasar mereka belum berorientasi kepada lingkungan hidup. Itulah sebabnya pertumbuhan produk – produk yang ramah lingkungan terkesan juga lambat di Indonesia. Apa benar masyarakat Indonesia belum sadar lingkungan ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita dapat melihat data dari AC Nilsen berikut ini :
Tabel 1
Survey Kepedulian Masyarakat tarhadap Lingkungan (dalam %)
Pertanyaan / Keterangan | Bagaiman tingkat kepedulian Anda soal lingkungan hidup ? | Bagaimana tingkat kepedulian Anda terhadap tingkap kepedulia Air ? | Bagaiman tingkat kepeudlian Anda terhadap polusi Air ? | Bagaiman tingkat kepedulian Anda terhadap pemanasan global ? |
Sangat Peduli | 66 | 72 | 80 | 69 |
Peduli | 27 | 20 | 16 | 24 |
Biasa Saja | 6 | 7 | 3 | 6 |
Tidak Peduli | 1 | 1 | - | 1 |
Sangat Tidak Peduli | - | 1 | 1 | - |
JUMLAH | 100 | 100 | 100 | 100 |
Sumber : AC Nilsen ; 2009
Dilihat dari dat diatas, sebenarnya konsumen Indonesia memiliki perhatian yang cuku besar terhadap beberapa isu lingkungan hidup. Rata – rata presentase konsumen Indonesia yang memiliki perhatian terhadap isu lingkungan hidup sudah berada diatas 90%. Sekalipun survey yang dilakukan oleh AC Nielsan merupakan para pengguna internet yang mayoritas sudaj teredukasi, namun hal ini merupakan titik awal bagaimana konsumen Indonesia akan mulai berpikir soal lingkungan hidup.
Istilah green marketing sendiri muncul ke permukaan sebagai reaksi dari marketer untuk peduli terhadap lingkungan. Apalagi marketing menjadi alat yang efektif untuk mengubah perilaku dan gaya hidup konsumen. Upaya green marketing bisa diterapkan pada berbagai unsure marketing mix, mulai dari produk, promosi, distribusi dan bahkan harga. Upaya memberikan insentif suku bunga yang dilakukan oleh BNI kepada pengembang ramah lingkungan adalah salah satu unsure kepedulian lingkungan. Sedangkan dari sisi distribusi, perhatian lingkungan bisa dilakukan lewat pemilihan outlet – outlet yang dekat dengan lingkungan hidup. Di Indonesia kita sebenarnya bisa melihat mulai maraknya kepedulian marketer kepada lingkungan. Sekalipun masih banyak yang belum menjadikan standar baku dalam memasarkan produk, namun gejala untuk memperhatikan lingkungan hidup sudah terlihat. Misalnya terlihat dengan penggunaan tas belanja pengganti tas plastik di supermarket, kemasan dan produk yang dapat di daur ulang sampai kampanye penyelamatan lingkungan hidup.
Dari ulasan diatas green marketing dapat definisikan sebagai proses penjualan produk dan / atau jasa berdasarkan manfaat lingkungan mereka. Such a product or service may be environmentally friendly in itself or produced and/or packaged in an environmentally friendly way. Seperti sebuah produk atau jasa mungkin ramah lingkungan itu sendiri atau diproduksi dan / atau dikemas dengan cara yang ramah lingkungan. Asumsinya jelas bahwa calon konsumen akan melihat produk atau layanannya yang “ kehijauan “ sebagai dasar manfaat dan membeli sesuai keputusan mereka.
Menurut DR. Sonny Keraf (Mantan Menteri Lingkungan Hidup) (2009 ; 46), mengatakan bahwa tidak semua perusahaan di Indonesia siap melakukan konsep grenn marketing. Sekalipun begitu, beliau optimis bahwa penerapan green marketing akan semakin mengemukan di masa yang akan datang, ini dikarenakan konsumen dari berbagai produk dan jasa sudah mulai peduli dengan apa yang dikonsumsinya. Walaupun produk – produk yang ramah lingkungan cenderung mahal, tapi konsumen yang peduli rela membayarnya, asalkan produk itu memang diproduksi dengan aspek ramah lingkungan. Beliau mencotohkan, konsumen yang peduli akan membeli ikan yang hidup bukan yang mati, karena takut yang ikan yang mati ditangkap dengan tidak ramah lingkungan. Contoh lain adalah beras organic, sayur organik, produk kosmetik hingga pakaian. Beliau juga menambahkan, bahwa di masa depan akan semakin tercipta kelompok konsumen yang peduli terhadap lingkungan, contohnya komunitas konsumen dari produk organik. Lama kelamaan komunitas ini akan semakin besar dan akan membentuk kelompok yang dominan dan berpengaruh. Mereka bisa menjadi kelompok penekan dan memboikot perusahaan yang memasarkan produk tidak ramah lingkungan.
Harus diakui, menjalankan grenn marketing saat ini memang mahal. Padahal banyak keuntungan yang bisa didapat dari merek ketika menjalankan green marketing. Hal senada diungkapkan oleh Kasali (2009 ; 55), untuk melakukan green marketing dibutuhkan harga yang mahal, namun hal itu bisa diakali dengan stimulus dari pemerintah. Misalnya, subsidi terhadap harga pupuk organik atau mobil hybrid. Berikut ini adalah keuntungan perusahaan apabila menjalankan green marketing :
1. Pertama tentunya dari sisi image. Dimana citra positif akan terbentuk ketika sebuah merek menjalankan aktivitas green marketing. Sebgai contoh kita dapat melihat bagaimana Toyota dengan program Toyota Eco Youth, dimana didalam program tersebut setiap siswa disadarkan untuk sadar terhadap isu lingkungan. Selain memberikan edukasi terhadap pengolahan lingkungan, program ini juga memberikan edukasi tentang safety driving. Di sinilah pembentukan citra Toyota di benak siswa dibentuk. Apalagi di tahun – tahun mendatang Toyota akan meluncurkan mobil hybrid yang ramah lingkungan.
2. Isu Lingkungan bahkan bisa dijadikan basis positioning yang kuat. Hal ini bisa dilakukan jika isu lingkungan benar – benar menjadi kebutuhan bagi konsumen. Merek yang paling banyak mempergunakannya adalah sektor perumahan. Contohnya adalah Sentul City, salah satu unique selling point yang ditawarkan oleh Sentul City adalah Eco City, dimana Sentul menawarkan sentuhan alam didalamnya dan bangunan yang mampu mereduksi efek – efek yang dapat merusak lingkungan.
3. Manfaat lain yang dapat dirasakan oleh merek adalah inovasi. Kecintaan kepada lingkungan membuat merek menjadi lebih inovatif. Marketer yang mulai berfokus pada green marketing akan berusaha membuat produk yang ramah lingkungan atu kampanye kepedulian terhadap lingkungan serta berbagai aktivitas lainnya.
Menurut John Grant (2009; 43) tiga sasaran green marketing antara lain :
1. Green
Pada tahap ini tujuan dari green marketing adalah lebih kea rah berkomunikasi bahwa merek atau perusahaan adalah merek yang peduli lingkungan.
2. Greener
Pada tahap greener tujuan dari marketing adalah selain pada komersialisasi merek juga bertujuan mencapai sasaran yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup. Pada tahap ini mencoba untuk merubah cara konsumen mengonsumsi produk.
3. Greenest
Pada tahap greenest tujuan dari marketing adalah sudah merubah budaya konsumen. Pada tahap ini konsumen sudah memiliki budaya atau kebiasaan yang lebih peduli terhadap lingkungan.
Menurut Rhenald Kasali green (2009; 56) marketing harus dimulai dari internal practices dulu. Misalnya, jika memang subuah perusahaan ingin mengusung konsep green, maka pertama – tama budaya kerja hingga tempatnya harus berunsur green, dari sana biasanya ide atau inovasi produk bahkan strategi green marketing akan muncul. Produsen dan konsumen harus menciptakan simbiosis mutualisme. Produsen ingin mendapatkan pasar dan konsumen berharap mendapatkan produk yang ramah lingkungan. Dua – duanya harus saling mengedukasi dan mendukung. Tidak hanya dari satu pihak saja, karena tidak mungkin produsen bisa melakukan kegiatan ramah lingkungan apabila konsumen sendiri tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Konsumen juga tidak bisa mendapatkan green products apabila tidak tersedia di pasar.
Banyak masyarakat awam yang mengatakan bahwa green marketing merupakan program CSR, sehingga yang muncul kepermukaan adalah programnya semata – mata hanya karena CSR, namun sebenarnya tidak demikian. Seperti pada program go green Unilever yang fokus kepada ketersedian air bersih. Pasalnya hampir semua produk Unilever adalah produk yang berhubungan dengan air. Maka, jika ketersedian air berkurang akan mengancam keberlangsungan penjualan produk Unilever. Menurut pandangan Kasali (2009; 56) Selama ini masih banyak orang yang menganggap green marketing merupakan bagian dari program CSR, bahkan hal demikian terjadi dikalangan bisnis. Perbedaan yang mencolok dari green marketing dan program CSR terletak pada tujuannya. Kalau green marketing untuk menaikkan penjualan, semntara CSR hanya semata – mata bentuk partisipasi perusahan kepada lingkungan sosial. Namun yang perlu kita wanti – wanti adalah faktor ekonomi, karena faktor ekonomi selalu menjadi hambatan. Produk yang ramah lingkungan biasanya mahal. Dilihat dari situasi ini memang perubahan menuju masyarakat yang peduli lingkungan tidak bisa instan dan harus ada dukungan dari pemerintah, media masa, perusahaan dan pendidikan. Setelah itu bisa menjadi lebih efektif dengan terbentuknya komunitas pecinta lingkungan yang semakin lama menjadi lifestyle.
Sumber Tulisan :
AC. Nilsen; 2009; Survey Kepedulian Masyarakat terhadap Lingkungan
Grant John. 2009. Tiga Sasaran Green Marketing. Majalah Marketing. Edisi September 2009. Hal. 43
Kasali Rhenald; 2009; Potensi Green Product Bergantung Stimulus; Majalah Swa Sembada; Edisi No.10/XXV/14-27 Mei 2009. hal.56.
Keraf Sonny. 2009. Peduli Lingkungan Harus Menjadi Lifestyle. Majalah Mix Marketing Xtra. Edisi April 2009. hal. 46.
Majalah Marketing. 2009. Green Marketing. Edisi September 2009. hal. 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar